Bukan hal yang mudah untuk dekarbonisasi Pan Brothers, salah satu manufaktur garmen terbesar di Indonesia.
Perusahaan berusia 43 tahun yang memproduksi pakaian luar ruangan dan olahraga seperti Adidas, Uniqlo, Lacoste, dan The North Face telah memulai perjalanan panjang menuju emisi nol bersih dengan memperhitungkan emisi dasar pada tahun lalu.
Pan Brothers memiliki 10 anak perusahaan, 23 pabrik, dan 29.000 karyawan yang memproduksi 117 juta pakaian per tahun untuk pasar ekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Pasifik, sebagai pasar terbesar, dengan total penjualan sebesar US$690 juta (Rp10,575,181,500,000).
Perusahaan ini perlu menurunkan emisinya apabila ingin tetap kompetitif dalam meningkatkan kesadaran karbon pada rantai suplai global. Pada tahun 2018, industri garmen dan tekstil memiliki komitmen untuk menurunkan emisi hingga 30 persen pada tahun 2030, sebuah janji yang memberikan tekanan kepada perusahaan sepanjang rantai suplai untuk memangkas biaya karbon dari sektor yang mencakup 6 hingga 8 persen emisi global.
Sebagian besar emisi Pan Brothers berasal dari operasional pabrik, tetapi emisi Scope 3 dari perusahaan – emisi tidak langsung dari rantai nilai yang paling sulit dikontrol – menjadi bagian terbesar dari jejak karbonnya.
“
Tekstil tidak begitu seksi seperti nikel di Indonesia saat ini.
Satrio Boediarto, manajer umum, pengembangan bisnis, relasi investor dan keberlanjutan, PT Pan Brothers Tbk
Pan Brothers mengimpor 84 persen dari 3.985 jenis kain yang berbeda dari luar negeri, seperti poliester dari Tiongkok, Taiwan, dan Jepang, untuk memproduksi pakaian luar ruangan dan olahraga. Ini menghasilkan biaya karbon yang cukup diperhitungkan, jelas manajer umum untuk pengembangan bisnis, relasi investor dan keberlanjutan, Satrio Boediarto, yang biasanya dipanggil dengan nama Boedi.
Pan Brothers ingin mengambil material lokal untuk memangkas jejak karbonnya, namun sektor tekstil domestik yang masih berjuang di Indonesia belum mampu memasok material yang dibutuhkan oleh perusahaan. Ekspor tekstil Indonesia turun hingga seperempat pada tahun lalu dan industri ini pun terus mengalami penurunan.
“Kami melihat ketertarikan dari perusahaan tekstil Tiongkok yang ingin datang ke Indonesia dan membangun pabrik kain. Ini akan mengurangi emisi karena tidak perlu mengimpor banyak kain. Namun, investasi ini haruslah mendapatkan dukungan pemerintah, yang masih belum menganggap tekstil seksi seperti nikel,” terang Boedi menambahkan tingginya minat kepada cadangan mineral tersebut untuk teknologi energi bersih.
Pan Brothers telah mengambil langkah untuk membersihkan listrik yang digunakan di pabrik-pabriknya untuk menurunkan emisi Scope 2. Tetapi, elektrifikasi telah menghadirkan tantangan yang juga dialami oleh semua perusahaan besar lokal yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Net Zero Hub, tahun lalu – batas untuk pengadaan energi terbarukan.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menetapkan batas energi terbarukan yang diperbolehkan bagi perusahaan karena kelebihan suplai listrik dari pembangkit batubara. “Kita tidak bisa memasang lebih dari 15 persen dari kapasitas listrik dengan tenaga surya. Kita ingin menggunakan lebih banyak energi terbarukan, tetapi kita tidak akan bisa mendapatkan izin,” jelas Boedi.
Perusahaan juga berusaha untuk dekarbonisasi transportasi yang digunakan oleh karyawan – salah satu bagian besar jejak karbonnya – namun sejak infrastruktur kendaraan listrik masih sangat baru di Indonesia, ini bukan menjadi pilihan yang realistis untuk karyawan,” jelas Boediarto. Kendaraan hibrid menjadi solusi yang lebih dipilih saat ini,” lanjutnya.
Mencapai target nol bersih perusahaan akan membutuhkan investasi, yang terbukti sangat sulit didapatkan mengingat kondisi keuangan. Perusahaan terkena dampak pandemi COVID-19 dan sedang berhadapan dengan utang. Bulan April, Pan Brothers mendekati bank-bank untuk membiayai kembali utang-utangnya. Model baru untuk membiayai tenaga surya di atap pabrik, yang tidak memerlukan investasi awal, telah membantu perusahaan menurunkan biaya transisi energi bersih.
Dalam wawancara ini, Boediarto berbicara tentang mengapa karyawan perusahaan menjadi prioritas utama untuk keberlanjutan, apa yang menjadi motivasi perusahaan untuk dekarbonisasi, dan bagaimana perusahaan terkena dampak perubahan iklim.
Apa yang memotivasi Pan Brothers untuk dekarbonisasi? Apakah perusahaan berada di bawah tekanan dari pelanggan Eropa dan Amerika untuk menurunkan emisi atau apakah pajak karbon menjadi permasalahan?
Tidak ada tekanan dari merek saat ini. Meskipun kita menetapkan target emisi nol bersih tahun lalu, perjalanan keberlanjutan sudah dimulai tahun 2015, jauh sebelum ada gerakan nol bersih, dengan pembangunan kantor pusat “hijau” di Boyolali, Jawa Tengah. Kantor ini mendapatkan sertifikasi gedung hijau platinum; kami lakukan daur ulang air hujan untuk sanitasi dan menghemat energi melalui pencahayaan yang energi efisien.
Pada tahun 2021, kami memasang panel surya di atap-atap untuk menurunkan ketergantungan terhadap batubara untuk listrik. Instalasi pertama dengan kapasitas 1,8 megawatt (MW) pada tiga pabrik, dan kami berencana menambahkan 1,2 MW pada tahun ini. Kami juga mempertimbangkan untuk meningkatkan boiler kami, sehingga bisa digunakan untuk membakar biomassa seperti bahan bakar fosil, untuk menurunkan emisi. Namun, sumber biomassa ini akan menjadi tantangan, sekaligus biaya. Mengambil biomassa dari pulau yang jauh tidak akan masuk akal karena akan menambah jejak karbon transportasi.
Awalnya, kami berpikir tentang kendaraan listrik, namun sejujurnya, infrastruktur masih belum berkembang di Indonesia. Jadi, kami memilih kendaraan hibrid, yang bisa menurunkan emisi hingga 34 persen dibandingkan dengan kendaraan bermesin pembakaran dalam. Kami memiliki 29.000 karyawan dan (emisi) transportasi mereka menjadi bagian emisi Scope 3 kami.
Apa prioritas keberlanjutan yang utama? Bagaimana perusahaan telah bekerja dalam meningkatkan hak asasi manusia untuk menjamin taat terhadap standar rantai suplai global?
Mengadopsi kerangka kerja Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) telah menjadi krusial bagi kami untuk mengidentifikasi area-area fokus utama. Bagi manufaktur garmen, fokus utama adalah sisi sosial dari keberlanjutan.
Kami mengikuti peraturan pemerintah dan semua karyawan kami mendapatkan upah di atas upah minimum (berdasarkan data terakhir, upah minimum untuk industri manufaktur di Indonesia rata-rata Rp 2,963,061 per bulan atau US$195). Kami juga memberikan perhatian kepada komunitas di lingkungan pabrik-pabrik kami. Meski memiliki 2.900 karyawan, kami mempunyai setidaknya 60.000 orang yang harus diperhatikan. Misalnya, “Proyek Kantin” yang merupakan kerja sama dengan vendor makanan lokal dan pemilik kantin di komunitas lokal di Boyolali, banyak yang beroperasi di luar dari fasilitas kami, menyediakan makanan bernutrisi dan terjangkau. Kami juga mendonasikan bahan-bahan kepada bisnis lokal, supaya bisa digunakan kembali dan dijual.
“
Emisi nol bersih adalah pola pikir.
Kami ingin karyawan kami hidup sehat, memiliki akses air bersih, lingkungan kerja yang aman, asuransi kesehatan yang baik, pendidikan tinggi, pelatihan, dan sebagainya. Kami ingin mereka menjadi bagian perjalanan dekarbonisasi, sebagai perusahaan. Nol bersih adalah sebuah pola pikir yang harus dimulai dari orang kita sendiri.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi oleh perusahaan dalam menjalankan dekarbonisasi?
Hal yang utama adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) membatasi berapa banyak listrik energi terbarukan yang bisa kita beli. Kami tidak bisa memasang lebih dari 15 persen dari kapasitas listrik dengan tenaga surya. Kami ingin menggunakan lebih banyak energi terbarukan, tetapi kami tidak akan bisa mendapatkan izin, karena adanya kelebihan suplai listrik dari jaringan. Kami bisa membeli sertifikat energi terbarukan, namun mereka juga disediakan oleh PLN.
Tantangan lainnya adalah emisi Scope 3. Kami mengimpor hampir seluruh material kami. Kami hanya menggunakan 15 persen material lokal. Akan sangat bagus apabila Tiongkok bisa berinvestasi di Indonesia dan membangun pabrik kain di sini. Ini akan mengurangi emisi kami karena tidak akan mengimpor banyak material. Setelah pandemi COVID-19, kami melihat banyak minat dari perusahaan Tiongkok untuk berinvestasi di sini, namun ini harus mendapatkan dukungan dari pemerintah. Itu juga menjadi sebuah tantangan. Pemerintah tidak melihat industri tekstil seksi seperti nikel.
Pada tahun 2008, Indonesia mengalami kemajuan di industri tekstil. Kita memiliki teknologi terbaru dan memproduksi bahan-bahan berkualitas. Namun, perubahan legislatif mempermudah impor material. Hanya segelintir perusahaan yang memproduksi kain mereka sendiri, dan banyak yang mencoba mendapatkan keuntungan cepat sebagai broker dengan mengimpor tekstil dari luar negeri. Sejak saat itu, industri tekstil Indonesia ketinggalan ketimbang negara lain, seperti Tiongkok, India, dan Vietnam. India memiliki Kementerian Tekstil untuk menunjukkan komitmen di industri ini. Indonesia tidak punya ini.
Pan Brothers telah mengalami kesulitan keuangan dalam beberapa tahun belakangan, terutama saat pandemi. Bagaimana perusahaan bisa mendanai rencana dekarbonisasi?
Apa yang bisa saya katakan adalah pelanggan kami telah mendukung kami sepanjang pandemi, ini yang membuat kami bisa berinvestasi untuk rencana berkelanjutan. Kerja sama yang erat, pengertian dua arah dan transparansi dengan pembeli menjadi kunci.
Selain itu, biaya energi tenaga surya telah menurun dan teknologi telah berevolusi jadi membuat harga jauh lebih turun lagi. Dengan demikian, kami harus memastikan bahwa yang kami investasikan di rencana berkelanjutan kami tidak berdampak kepada keseluruhan bisnis. Bisnis harus tumbuh dan kami harus mencetak keuntungan.
Satu isu adalah bank-bank tidak siap untuk dana berkelanjutan dan mendukung bisnis membuat transisi tersebut. Semoga ekosistem akan lebih matang sehingga bisnis bisa mendapatkan bunga pinjaman yang lebih murah bagi program-program berkelanjutan.
Bagaimana bisnis terdampak oleh perubahan iklim?
Ini tergantung lokasi dari pabrik-pabrik kami. Pabrik utama kami di Boyolali, Jawa Tengah, berada jauh di atas permukaan air laut dan dikelilingi oleh pegunungan. Saat ini, kami tidak menghadapi dampak iklim yang parah, namun kami perlu waspada. Sepuluh tahun mendatang, ini mungkin bisa berbeda sama sekali. Kami dalam proses melakukan penilaian terhadap ketahanan pabrik kami dan di mana lokasi mereka untuk menjamin operasional kami tahan terhadap perubahan iklim.
Untuk berita dan pandangan tentang Indonesia ESG dan berkelanjutan, langganan nawala Eco-Business Indonesia di sini.