Negara ekonomi berkembang seperti Indonesia siap melakukan dekarbonisasi. Tetapi pada saat yang sama, mereka menginginkan agar negara-negara maju mengakui bahwa bagi sebagian besar negara maju, kemajuan sejarah mereka telah dibangun dengan memanfaatkan bahan bakar fosil, jadi mereka seharusnya berhenti menceramahi negara-negara selatan (Global South) tentang bagaimana mereka mengembangkan negaranya.
Bagi Arsjad Rasjid, yang pada awal tahun ini juga didapuk menjadi ketua Dewan Penasihat Bisnis Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) di samping banyak jabatan lain yang didudukinya, sekarang adalah saatnya bagi negara-negara maju untuk “mengulurkan tangan”.
“Anda tidak dapat menyuruh kami untuk melakukan dekarbonisasi tanpa membantu kami dengan modalnya,” kata eksekutif yang berusia 50 tahun ini, saat ditanya oleh Eco-Business tentang tekanan negara-negara Barat kepada Indonesia untuk beralih dari batu bara. “Bertepuk sebelah tangan tiada akan berbunyi.”
Indonesia adalah negara pengekspor batu bara terbesar di dunia, dan Arsjad menjalankan salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia, Indika Energy. Taipan bisnis yang juga menjabat sebagai ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) ini berbicara kepada Eco-Business di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura untuk membahas tantangan-tantangan terkait transisi energi yang adil.
Just Energy Transition Partnership (JETP), yang ditandatangani pada KTT G20 di Bali pada bulan November dan bernilai US$20 miliar, merupakan upaya terbaru negara-negara G7 untuk mendesak Indonesia berhenti menggunakan batu bara – yang merupakan 60 persen dari bauran energi negara dan bernilai 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). JETP mewajibkan Indonesia untuk membatasi emisi sektor tenaga listriknya pada tahun 2030, dan membekukan program pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah direncanakan.
Tetapi biaya transisi energi Indonesia akan jauh lebih besar dari US$20 miliar. Jaringan energi terbesar di Asia Tenggara ini akan memerlukan total investasi hingga US$2,4 triliun untuk mencapai target iklim sektor energi yaitu nol bersih pada tahun 2050, yang mengharuskan negara untuk menggandakan laju penerapan energi terbarukan, menurut beberapa perkiraan.
“
Motivasi untuk berubah [dekarbonisasi Indika Energy] datang dari putri saya. Ia menunjukkan kepada saya sebuah artikel berjudul ‘100 pembunuh dunia’. Nama saya ada di sana, sebagai kepala perusahaan batu bara.
Arsjad Rasjid, ketua, Dewan Penasihat Bisnis ASEAN dan Kamar Dagang Indonesia; presiden direktur, Indika Energy
Arsjad mengatakan bahwa bukan hanya pendanaan yang diinginkan oleh Indonesia untuk membantu peralihan ke energi bersih. “Bagikan teknologi Anda dengan kami,” serunya. “Jika Anda tidak berbagi teknologi, bagaimana kami dapat berkembang dan melakukan dekarbonisasi pada saat yang bersamaan? Kami juga ingin menjadi negara maju.”
Indonesia mengandalkan teknologi – terutama fasilitas penangkapan, penggunaan dan penyimpanan karbon yang melekat pada pembangkit listrik tenaga batu bara dan pembangkit listrik tenaga campuran biomassa – guna membantu mengurangi emisinya menuju nol bersih pada tahun 2060, sebuah target dekarbonisasi nasional yang ditetapkan pada tahun 2021.
Rasjid mengakui ada begitu banyak tantangan, tetapi Indonesia berkomitmen untuk mencapai nol bersih dan sektor bisnis – yang menjadi penyumbang sebagian besar emisi negara ini – merupakan bagian penting dari rencana tersebut.
Indika Energy, yang merupakan bagian dari konsorsium internasional yang mengoperasikan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara Cirebon 1 Indonesia, sudah tidak asing dengan pengawasan jeli lembaga swadaya masyarakat dan pemangku kepentingan setempat tentang bagaimana transisi energi dikelola.
Dalam wawancara ini, Arsjad berbicara tentang peluang dalam ekonomi nol bersih bagi pelaku bisnis di Indonesia, tantangan dalam menyukseskan JETP, dan bagaimana putrinya membujuknya untuk melakukan transisi pada perusahaan energinya menuju energi bersih.
KADIN menetapkan target bagi anggotanya untuk mengurangi emisi mereka guna mendukung target nol bersih nasional Indonesia tahun 2060. Bagaimana bisnis di Indonesia melangkah maju menuju sasaran tersebut?
Salah satu perhatian utama terkait transisi energi adalah [kami memastikan] tidak ada yang tertinggal. Meski perusahaan-perusahaan besar telah membuat komitmen dekarbonisasi dan meningkatkan kesadaran [tentang aksi iklim perusahaan], kami memerlukan agar usaha kecil dan menengah turut bergerak juga. Kami harus membimbing UKM dan membawa mereka berjalan bersama. Kami perlu menciptakan ekosistem yang tepat bagi semua bisnis untuk melakukan dekarbonisasi, dan mengapresiasi perusahaan-perusahaan yang menjadi pelopor.
Itulah mengapa kami bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia untuk membuat indeks iklim [guna memantau kinerja pengurangan karbon]. Investor akan melihat perusahaan-perusahaan membuat komitmen, dan menyadari ada nilai yang lebih besar dalam perusahaan-perusahaan tersebut. Perlu adanya insentif bagi pelaku bisnis untuk menjadi bagian dari gerakan nol bersih.
Peluang seperti apa yang Anda lihat dalam transisi energi di Indonesia?
Transisi ke nol bersih melibatkan tiga sektor utama: listrik, transportasi dan industri. Strategi untuk transportasi sangat menarik. Dengan beralih ke kendaraan listrik (EV), kami dapat mengurangi volume impor bahan bakar fosil, sehingga mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan juga menekan emisi. Tidak hanya itu, kami dapat menciptakan ekosistem bisnis baru dan menggantikan transportasi berbahan bakar fosil.
Dan yang terpenting, Indonesia memiliki bahan bakunya. Kami memiliki nikel, bauksit, tembaga dan timah. Kami ingin menciptakan ekosistem bisnis yang mendukung UKM, dan bukan hanya perusahaan besar. Hal yang sama telah dilakukan di Korea, Jepang dan Tiongkok, jadi mengapa kami tidak dapat melakukannya? Kami tidak harus hanya menjadi pusat produksi. Kami memiliki sumber daya untuk menjadi pusat EV global, rantai pasokan ke seluruh dunia.
Bagaimana Indonesia dapat mengelola dengan lebih baik kerusakan lingkungan akibat pertambangan mineral transisi?
Mari kita bicara blak-blakan saja. Pertambangan bukanlah industri yang paling bersih. Itulah mengapa sangat penting untuk negara-negara maju berbagi teknologi dengan kami. Sebuah perusahaan pertambangan Inggris yang berspesialisasi dalam pengolahan tanpa limbah sedang melakukan studi kelayakan di Australia, dan mereka berencana untuk datang ke Indonesia juga. Sudah ada kemajuan dalam proses produksi listrik dengan tenaga surya, misalnya, tetapi teknologi di balik pertambangan belum mengalami kemajuan serupa.
Ada peluang besar bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama yang lebih erat dengan Australia, yang saat ini lebih banyak melakukan perdagangan dengan Tiongkok. Indonesia dan Australia adalah tetangga. Kita seharusnya lebih banyak bekerja sama. Misalnya saja, Indonesia memiliki banyak nikel, sedangkan Australia kaya akan litium. Seharusnya ada banyak sinergi dalam pertambangan mineral transisi. Inilah waktu yang tepat bagi kita untuk melihat kembali hubungan kedua negara.
Bagaimana Anda melihat perkembangan JETP?
Saya berharap JETP akan menjadi jawaban [bagi dilema transisi energi Indonesia]. Tetapi saya tidak percaya pada kata-kata dan komitmen belaka – saya ingin melihat ada tindakan yang nyata. Saya pikir dunia mengakui bahwa Indonesia sedang bergerak ke arah yang benar; kami sedang berusaha. Tetapi juga harus ada pemahaman bahwa Indonesia juga memerlukan pertumbuhan ekonomi, dan aksesibilitas serta keterjangkauan energi masih menjadi masalah. Kami tidak ingin meninggalkan siapa pun.
Indonesia sedang berupaya untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045, tepat 100 tahun setelah kemerdekaan kami. Saat ini, pendapatan per kapita kami adalah US$4.000-5.000. Kami menargetkan mencapai US$20.000 per kapita pada tahun 2045. Sebuah sasaran yang ambisius.
Pertanyaannya adalah, Indonesia seperti apa yang ingin kita lihat saat itu? Kami ingin memberantas kemiskinan. Tetapi kami juga ingin hidup di negara yang bersih di mana orang-orang yang sehat menghirup udara yang bersih. Kami memerlukan peta jalan nol bersih yang tepat untuk mewujudkan visi tersebut. Kami juga memerlukan keterampilan dan teknologi yang tepat, dan itulah mengapa pemerintah baru-baru ini menggabungkan kementerian riset dan pendidikannya. Indonesia akan memiliki populasi sekitar 320 juta pada tahun 2045, dan kami memerlukan investasi yang tepat dalam sumber daya manusia untuk menghindari kekurangan keterampilan.
Ceritakan kepada kami tentang komitmen Indika Energy untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050. Apakah itu akan terwujud?
Ini adalah perjalanan yang tidak mudah dan komitmen seperti ini harus datang dari atas. Motivasi untuk berubah datang dari putri saya. Suatu hari saya sedang minum kopi bersamanya. Ia baru saja kembali dari studinya di Inggris. Ia menyodorkan ponselnya dan menunjukkan kepada saya sebuah artikel berjudul ‘100 pembunuh dunia’. Nama saya ada di sana, sebagai kepala perusahaan batu bara. Itulah yang memicu saya. Saya bertemu dengan manajemen dan berkata: ‘Kita harus berubah.’
Jadi kami mulai berpikir tentang bagaimana cara beralih dari batu bara dan menyusun strategi baru untuk nol bersih 2050. Kami mulai menjual aset batu bara kami satu per satu. Kami juga menjual tambang batu bara kami secara bertahap.
Pada saat yang sama, kami mengalihkan bisnis energi kami ke energi terbarukan. Kami telah berinvestasi pada perusahaan tenaga surya dan biomassa. Kami juga beralih ke solusi berbasis alam melalui bisnis kehutanan kami, dan mobilitas listrik [Indika mengumumkan kesepakatan dengan produsen komponen EV Foxteq Singapore untuk memproduksi EV dan baterai listrik September lalu].
Saya tidak ingin LST (kependekan dari lingkungan, sosial dan tata kelola) hanya sekadar menjadi semboyan. Hal itu harus benar-benar ditanamkan dalam bisnis. Itu adalah kunci menuju sukses. Dan ini adalah sebuah proses yang sedang berjalan.
Wawancara ini telah disunting agar ringkas dan jelas.