Indonesia memproduksi setengah dari nikel di dunia. Saat ini, nikel merupakan mineral paling diminati untuk teknologi energi terbarukan. Dominasi Indonesia terhadap produksi nikel nampaknya akan semakin meningkat. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, sedang menyusun kebijakan hilirisasi nikel yang cukup agresif karena ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Namun, hilirisasi – sebuah proses yang tidak sekadar ekstraksi bahan mentah namun hingga menjadi produk setengah jadi – menghadapi banyak tantangan lingkungan, sosial dan tenaga kerja. Para pembuat kebijakan pun merespon tekanan-tekanan ini untuk menurunkan dampak dari ambisi pertumbuhan industri.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia akan meluncurkan peta jalan dekarbonisasi nikel di awal tahun depan.
Peta jalan ini menjadi bagian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2025-2029) yang bertujuan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG - Environmental, Social, and Governance) ke dalam hilirisasi industri. Salah satu target utama adalah menurunkan emisi dari industri nikel sebesar 90 persen pada tahun 2050. Target lainnya adalah mengembangkan lapangan pekerjaan di bidang energi terbarukan dan menyediakan insentif bagi industri hijau.
Saat ini, industri nikel Indonesia menghasilkan 58,6 ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2e) per ton nikel, jauh melebihi standar global 48 tCO2e per ton.
“Industri [nikel] ini menggunakan batubara karena butuh panas yang konsisten dan stabil, terutama untuk smelter. Menggantinya akan sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Oleh sebab itu, prioritas utama kami adalah menciptakan peta jalan untuk mengurangi emisi di sektor ini,” jelas Nizhar Marizi selaku Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas.
Langkah pertama adalah untuk memetakan lintasan emisi industri nikel, lalu merencanakan bagaimana cara dekarbonisasi perdagangan dan cara pembiayaannya, jelas Almo Pradana, Deputi Iklim, Energi, Kota, dan Laut WRI Indonesia. “Tentu saja, Indonesia tidak bisa melakukan ini sendirian, perlu ada dukungan internasional,” tambahnya.
Pemerintah belum menetapkanbiaya untuk dekarbonisasi perdagangan nikel yang cepat berkembang ini.
Ironi PLTU captive menjadi penggerak perdagangan nikel
Peta jalan dekarbonisasi hilirisasi memang penting sebagai langkah pertama, namun perubahan peraturan juga penting untuk dilakukan.
Di bulan Februari, Indonesia meluncurkan revisi “taksonomi” atau buku peraturan investasi hijau yang mengkategorisasikan PLTU yang menggerakkan fasilitas nikel atau dikenal sebagai PLTU captive, sebagai bagian dari transisi ekonomi hijau. Hal ini menjadi kekhawatiran dari para aktivis lingkungan.
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa 23.7 persen listrik di Indonesia berasal dari PLTU captive, dengan 67 persen kapasitas ini digunakan untuk proyek-proyek smelter nikel.
Jumlah PLTU captive di Indonesia juga telah meningkat pada 10 tahun terakhir, sebanyak lima kali lipat dari rata-rata global, sejalan dengan ambisi hilirisasi nikel di negara ini.
Sementara itu, laporan terbaru dari WALHI, NGO lingkungan terbesar di Indonesia, memperkirakan kapasitas total PLTU akan mencapai 8.345 megawatt di Morowali, Sulawesi Tengah, yang merupakan pusat utama perdagangan nikel. Lebih lanjut, WALHI juga memprediksi bahwa PLTU-PLTU ini tidak akan mencapai kapasitas puncak hingga 2027-2028. Mereka juga menemukan warga yang tinggal di sekitar PLTU sering mengalami penyakit ISPA dan kulit.
Lintasan polusi iklim dari PLTU captive di Indonesia menjadi kontradiksi dengan target menurunkan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 yang tercantum pada kontribusi nasional (NDC) untuk Perjanjian Paris. Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2012, sebuah peraturan untuk membatasi kapasitas PLTU di Indonesia, sayangnya, tidak mengatur PLTU captive dalam industri nikel.
Deforestasi dan hilangnya biodiversitas
Industri nikel juga memiliki ancaman deforestasi dan biodiversitas. Areal seluas 5.331 hektar hutan tropis di Halmahera, Maluku Utara telah ditebang untuk tambang nikel dan mengeluarkan 2.04 metrik ton gas rumah kaca. Setengah juta hektar hutan berada di bawah ancaman dari tambang nikel ditambah dengan area yang lebih luas sedikit dari Singapura yang sudah ditebang lebih dulu demi memenuhi permintaan untuk transisi mineral.
“Hilangnya biodiversitas dan penghancuran hutan hujan dari tambang nikel jelas akan meningkatkan emisi Indonesia,” berkata Rere Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi di WALHI. Peta jalan dekarbonisasi Indonesia untuk sektor ini harus mengakui bahwa industri ekstraktif tidak bisa menjamin keuntungan jangka panjang bagi komunitas lokal dan izin pertambangan harus patuh terhadap prinsip-prinsip konservasi yang menjaga hutan dan orang-orang yang bergantung kepadanya, lanjutnya.
Presiden Indonesia yang baru terpilih telah berjanji untuk memberikan insentif fiskal untuk investasi smelter nikel baru. Insentif serupa juga akan diberikan untuk komoditas hilir lainnya, seperti minyak sawit mentah, makanan laut, kayu dan karet. Saat kampanye, Prabowo memperkirakan butuh investasi hingga US$545 miliar (Rp 8,439 trilliun) untuk menjalankan program hilirisasi 21 komoditas.
Ambisi ini mungkin berasal dari keberhasilan ekonomi yang dialami industri hilir dalam beberapa tahun terakhir. Pajak dari industri hilir meningkat dari US$13 juta (Rp 201 miliar) pada tahun 2017 menjadi US$1 miliar (Rp15,4 triliun) pada tahun 2022 seiring dengan peningkatan produksi feronikel yang digunakan untuk pembuatan baja dan NPI (Nickel Pig Iron).
Sementara itu, PNBP sektor minerba mengalami peningkatan signifikan dari US$2 miliar (Rp 30,993 triliun) pada tahun 2020 menjadi US$10 miliar (Rp 154,9 triliun) pada tahun 2023.
“Kami memperkirakan penerimaan negara dari sektor nikel akan tumbuh sekitar US$7 miliar (Rp 108,416 triliun) hingga tahun 2045,” kata Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara.
Meskipun kebijakan hilirsasi Indonesia sudah menunjukkan keberhasilan ekonomi , para ahli menduga bahwa Indonesia belum siap secara teknis, finansial, atau teknologi untuk melakukan hilirisasi.
Laju pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi utama tercatat 20.49 persen di Maluku Utara dan 11.91 persen di Sulawesi Tengah pada tahun 2023. Ini sangat kontras dengan penurunan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di provinsi-provinsi tersebut. Bahkan, para nelayan di Sulawesi mengalami penurunan mata pencaharian karena berkurangnya hasil tangkapan ikan akibat pencemaran laut yang disebabkan oleh industri nikel.
Laporan yang dikeluarkan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) memproyeksikan kerugian ekonomi sebesar lebih dari US$387,10 juta (Rp 6 triliun) selama 15 tahun ke depan pada sektor pertanian dan perikanan akibat penambangan nikel di tiga provinsi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Selain itu, petani dan nelayan terancam kehilangan pendapatan sebesar US$234,84 juta (Rp 3,64 triliun) dalam 15 tahun jika terjadi skenario bisnis-seperti-biasa pada industri nikel.
“Kami belum menghitung biaya pemulihan lingkungan yang rusak, hutan yang ditebang, biaya perawatan kesehatan bagi masyarakat yang terkena dampak, dan biaya bencana iklim jika emisi dari sektor nikel tetap tinggi,” Rere Christanto menjelaskan.
Selain upaya dekarbonisasi, pemerintah Indonesia perlu merevisi peraturan pertambangan dan hilirisasi nikel, ungkap para ahli. Perubahan terbaru UU Minerba tahun 2020 telah mengalihkan seluruh urusan pertambangan ke pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat belum memiliki sistem pengawasan yang memadai terhadap sektor pertambangan. Hal ini berarti bahwa otoritas lokal dan regional dapat menghindari tanggung jawab atas pelanggaran pertambangan, sementara para ahli merujuk pada budaya hukum Indonesia yang cenderung permisif membiarkan pelanggarnya lolos dari hukuman.
“Transisi energi harus dilihat sebagai perubahan mendasar dalam tata kelola energi. Penggunaan bahan bakar fosil telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan akibat emisi yang sangat besar dan praktik tata kelola yang buruk. Ini bukan sekadar tentang peralihan sumber energi. Ini tentang perubahan mendasar dalam cara kita mengelola energi,” Rere mengatakan.