Menurut laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA), gambaran masa depan sektor energi di Asia Tenggara tampaknya tidak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini yang identik dengan jalanan yang padat dan polusi udara perkotaan.
Kebutuhan energi di kawasan ini akan tumbuh sebesar 60 persen hingga 2040. Mengacu pada target kebijakan yang telah dipublikasikan lembaga-lembaga pemerintah di Asia Tenggara, IEA memperkirakan jumlah kematian dini akibat polusi udara dari bahan bakar fosil dapat mencapai 650.000 jiwa pada tahun 2040, meningkat dari angka tahun 2018 yang diperkirakan sebesar 450.000 jiwa.
Kebutuhan yang besar akan minyak dan gas bumi membuat kawasan Asia Tenggara semakin bergantung pada impor bahan bakar fosil.
Meskipun memiliki sumber daya sendiri, Asia Tenggara akan menjadi net importir bahan bakar fosil dalam beberapa tahun ke depan. Dalam laporan berjudul Southeast Asia Energy Outlook 2019 yang dirilis Oktober 2019, IEA memperkirakan Asia Tenggara akan mencatat defisit perdagangan energi sebesar 300 miliar dolar AS per tahun pada 2040, membuat kawasan ini sangat rentan dalam hal ketahanan energi.
“
Inisiatif dari individu, masyarakat sipil, perusahaan dan investor dapat membawa perubahan, akan tetapi kapasitas terbesar dalam membentuk masa depan energi Asia Tenggara berada di tangan lembaga pemerintah
Badan Energi Internasional, dalam laporan Gambaran Energi Asia Tenggara 2019
Menurut IEA, Asia Tenggara—satu-satunya kawasan di dunia yang porsi energi dari batubaranya tetap tumbuh dalam dua dekade ke depan—harus menggunakan energi terbarukan dalam skala lebih besar dan memperbaiki efisiensi energinya agar dapat memenuhi kewajiban mereka sesuai Persetujuan Paris, yang bertujuan menahan pemanasan global agar tak lebih dari 2°C di atas level pra-industri sampai tahun 2100.
Lembaga pemerintah di Asia Tenggara memegang kunci menuju pembangunan sektor energi yang lebih berkelanjutan.
“Inisiatif dari individu, masyarakat sipil, perusahaan dan investor dapat membawa perubahan, akan tetapi kapasitas terbesar dalam membentuk masa depan energi Asia Tenggara berada di tangan lembaga pemerintah,” tulis IEA di laporan tersebut, yang dirilis pada Pekan Energi Internasional Singapura (SIEW) 2019.
Laporan IEA tidak meramalkan gambaran sektor energi dalam dua dekade ke depan, tapi mempertimbangkan dua skenario. Skenario pertama didasari oleh kebijakan dan ambisi yang telah dicanangkan serta perkembangan teknologi yang telah ada; skenario lainnya didasari oleh langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan.
Mengacu pada kebijakan yang ada, energi terbarukan hanya akan memenuhi sekitar sepertiga dari pertumbuhan kebutuhan listrik di Asia Tenggara. Sementara itu, porsi energi terbarukan sebagai sumber energi diproyeksikan tumbuh dari 24 persen saat ini menjadi 30 persen pada 2040.
Menurut IEA, pertumbuhan energi terbarukan ini lebih lambat dibanding Tiongkok dan India, yang porsi energi terbarukannya dapat mencapai lebih dari 40 persen pada 2040.
Direktur pasar dan ketahanan energi IEA, Keisuke Sadamori, berkata bahwa energi terbarukan hanya akan memenuhi 20 persen dari total kebutuhan energi Asia Tenggara pada 2040, peningkatan yang dinilai marjinal dibandingkan angka saat ini yakni 15 persen. (Listrik mencakup 18 persen dari total konsumsi energi di Asia Tenggara saat ini, dan akan naik menjadi 26 persen di 2040. Sektor lain yang menjadi konsumen energi tertinggi adalah industri besi, baja, dan bahan kimia.)
‘Mengherankan bila beban pemakaian bahan bakar fosil ditingkatkan’
Dalam suatu diskusi panel di tengah SIEW mengenai tantangan dan peluang dalam bidang energi di Asia Tenggara, pendapat yang dikemukakan Keisuke Sadamori dan Dr. Vijay Swarup, wakil presiden Riset & Rekayasa ExxonMobil, tentang keterjangkauan harga batubara serta transisi dari batubara ke gas memancing pertanyaan seorang peserta mengenai besarnya perhatian terhadap bahan bakar fosil.
Pembakaran batu bara untuk menghasilkan energi adalah kontributor terbesar bagi emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas manusia.
“
Sangatlah mengherankan bagi saya untuk mendengar Anda berbicara tentang penambahan muatan bahan bakar fosil di kawasan ini sedangkan melimpahnya sumber daya alam membuat energi terbarukan dapat dikembangkan dalam berbagai skala.
Jules Kortenhorst, pemimpin eksekutif, Rocky Mountain Institute
Energi terbarukan sudah mulai menjadi pilihan pembangkit listrik yang hemat biaya, ujar Jules Kortenhorst, pemimpin eksekutif lembaga nirlaba Rocky Mountain Institute, yang menyediakan jasa penasihat dalam transisi energi.
“Kenapa kawasan ini harus berinvestasi untuk berpindah dari batubara ke gas, sedangkan sekarang penetrasi energi terbarukan masih rendah, dan pada saat bersamaan biaya untuk teknologi (energi terbarukan) sudah lebih hemat dibandingkan teknologi pembangkit listrik lainnya?” tanya Kortenhorst. “Sangatlah mengherankan bagi saya untuk mendengar Anda berbicara tentang penambahan muatan bahan bakar fosil di kawasan ini sedangkan… melimpahnya sumber daya alam membuat energi terbarukan dapat dikembangkan dalam berbagai skala.”
Sadamori menjawab bahwa pendapatnya didasari oleh arahan kebijakan berbagai negara Asia Tenggara saat ini dan ia setuju bahwa pembangunan berkelanjutan adalah jalan yang baik bagi lingkungan dan juga bagi ekonomi.
Akan tetapi, Sadamori menambahkan, penerapan energi terbarukan membutuhkan fleksibilitas dalam sistem kelistrikan, dan pasokan listrik harus stabil. Saat ini, pembangkit listrik konvensional lah yang bisa memberikan fleksibilitas tersebut.
Swarup, yang berkata negara-negara memilih batubara karena harga yang terjangkau, terukur, dan mudah ditransportasikan, menjawab bahwa kawasan Asia Tenggara akan bergantung pada kombinasi berbagai sumber energi. “Tidak harus salah satu,” ucapnya.
Kalimantan sebagai baterai bagi kawasan Asia Tenggara?
Demi penerapan energi terbarukan yang lebih luas, menurut laporan IEA, dibutuhkan kerangka kebijakan yang lebih konsisten untuk menarik investasi serta mendorong perbaikan dalam integrasi sistem.
Menurut IEA, biaya energi di kawasan ini harus diperbaiki dengan cara menghapus subsidi bahan bakar fosil secara bertahap. Subsidi untuk konsumsi bahan bakar fosil mencapai 35 miliar dolar AS di tahun 2018, atau hampir 0,5 persen dari produk domestik bruto Asia Tenggara.
Meski begitu, sebuah titik cerah datang dari melambatnya laju perizinan untuk pembangkit listrik batubara dan meningkatnya pemasangan pembangkit listrik tenaga surya dan angin. “Ini pertanda bahwa kapasitas listrik dari batubara yang ada telah mulai digantikan oleh kapasitas tambahan dari tenaga surya dan angin,” kata IEA dalam laporannya.
Jaringan listrik regional akan memicu pertumbuhan listrik dari energi terbarukan, terutama angin dan surya, menurut catatan IEA. Penyatuan jaringan akan mengurangi variabilitas keluaran dari pembangkit listrik angin dan surya, dan akan membuka akses yang lebih besar untuk sumber daya yang fleksibel.
Namun, jaringan listrik ASEAN yang telah diperbincangkan selama hampir dua dekade, “masih sekadar mimpi”, ungkap Damian Chan, wakil direktur pengelola Badan Pembangunan Ekonomi Singapura, di tengah sesi Seminar Energi Bersih Asia (Asia Clean Energy Summit), yang merupakan bagian dari acara SIEW.
Untuk menciptakan penghantaran listrik lintas negara, dibutuhkan faktor kepemimpinan dan kemauan politik, ucap Sharbini Suhaili, pemimpin eksekutif Sarawak Energy, dalam diskusi panel tersebut.
Sarawak Energy, yang dimiliki oleh pemerintah Malaysia, merupakan penyedia listrik utama di Sarawak.
Kaya akan listrik dari sumber daya air, jaringan listrik Sarawak sudah terhubung dengan Kalimatan Barat, Indonesia, dan akan tersambung pula ke Sabah dan negara tetangga Brunei, ujarnya.
“Pulau Kalimantan bisa berperan sebagai baterai bagi kawasan Asia Tenggara,” cetus Suhaili.
Read the story in English here.